Jumat, 28 Desember 2012

Hikmah Pengharaman Babi

Hikmah Pengharaman Babi
oleh Syeikh Fauzi Muhammad Abu Zaid

Hal ini penting untuk diketahui, terutama oleh pemuda-pemuda kita yang sering pergi ke negara-negara Eropa dan Amerika, yang menjadikan daging babi sebagai makanan pokok dalam hidangan mereka.

Dalam kesempatan ini, saya sitir kembali kejadian yang berlangsung ketika Imam Muhammad Abduh mengunjungi Perancis. Mereka bertanya kepadanya mengenai rahasia diharamkannya babi dalam Islam. Mereka bertanya kepada Imam, "Kalian (umat Islam) mengatakan bahwa babi haram, karena ia memakan sampah yang mengandung cacing pita, mikroba-mikroba dan bakteri-bakteri lainnya. Hal itu sekarang ini sudah tidak ada. Karena babi diternak dalam peternakan modern, dengan kebersihan terjamin, dan proses sterilisasi yang mencukupi. Bagaimana mungkin babi-babi itu terjangkit cacing pita atau bakteri dan mikroba lainnya.?"

Imam Muhammad Abduh tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dan dengan kecerdikannya beliau meminta mereka untuk menghadirkan dua ekor ayam jantan beserta satu ayam betina, dan dua ekor babi jantan beserta satu babi betina.

Mengetahui hal itu, mereka bertanya, "Untuk apa semua ini?" Beliau menjawab, "Penuhi apa yang saya pinta, maka akan saya perlihatkan suatu rahasia."

Mereka memenuhi apa yang beliau pinta. Kemudian beliau memerintahkan agar melepas dua ekor ayam jantan bersama satu ekor ayam betina dalam satu kandang. Kedua ayam jantan itu berkelahi dan saling membunuh, untuk mendapatkan ayam betina bagi dirinya sendiri, hingga salah satu dari keduanya hampir tewas. Beliau lalu memerintahkan agar mengurung kedua ayam tersebut.

Kemudian beliau memerintahkan mereka untuk melepas dua ekor babi jantan bersama dengan satu babi betina. Kali ini mereka menyaksikan keanehan. Babi jantan yang satu membantu temannya sesama jantan untuk melaksanakan hajat seksualnya, tanpa rasa cemburu, tanpa harga diri atau keinginan untuk menjaga babi betina dari temannya.

Selanjutnya beliau berkata, "Saudara-saudara, daging babi membunuh 'ghirah' orang yang memakannya. Itulah yang terjadi pada kalian. Seorang lelaki dari kalian melihat isterinya bersama lelaki lain, dan membiarkannya tanpa rasa cemburu, dan seorang bapak di antara kalian melihat anak perempuannya bersama lelaki asing, dan kalian membiarkannya tanpa rasa cemburu, dan was-was, karena daging babi itu menularkan sifat-sifatnya pada orang yang memakannya."

Kemudian beliau memberikan contoh yang baik sekali dalam syariat Islam. Yaitu Islam mengharamkan beberapa jenis ternak dan unggas yang berkeliaran di sekitar kita, yang memakan kotorannya sendiri. Syariah memerintahkan bagi orang yang ingin menyembelih ayam, bebek atau angsa yang memakan kotorannya sendiri agar mengurungnya selama tiga hari, memberinya makan dan memperhatikan apa yang dikonsumsi oleh hewan itu. Hingga perutnya bersih dari kotoran-kotoran yang mengandung bakteri dan mikroba. Karena penyakit ini akan berpindah kepada manusia, tanpa diketahui dan dirasakan oleh orang yang memakannya. Itulah hukum Allah, seperti itulah hikmah Allah.

Ilmu pengetahuan modern telah mengungkapkan banyak penyakit yang disebabkan mengkonsumsi daging babi. Sebagian darinya disebutkan oleh Dr.Murad Hoffman, seorang Muslim Jerman, dalam bukunya "Pergolakan Pemikiran: Catatan Harian Muslim Jerman", halaman 130-131:
"Memakan daging babi yang terjangkiti cacing babi tidak hanya berbahaya, tetapi juga dapat menyebabkan meningkatnya kandungan kolestrol dan memperlambat proses penguraian protein dalam tubuh, yang mengakibatkan kemungkinan terserang kanker usus, iritasi kulit, eksim, dan rematik. Bukankah sudah kita ketahui, virus-virus influenza yang berbahaya hidup dan berkembang pada musim panas karena medium babi?"

Dr. Muhammad Abdul Khair, dalam bukunya Ijtihâdât fi at Tafsîr al penderita penyakit ini di negara-negara yang penduduknya memakan babi, meningkat secara drastis. Terutama di negara-negara Eropa, dan Amerika, serta di negara-negara Asia (seperti Cina dan India). Sementara di negara-negara Islam, persentasenya amat rendah, sekitar 1/1000. Hasil penelitian ini dipublikasikan pada 1986, dalam Konferensi Tahunan Sedunia tentang Penyakit Alat Pencernaan, yang diadakan di Sao Paulo.

Kini kita tahu betapa besar hikmah Allah mengharamkan daging dan lemak babi. Untuk diketahui bersama, pengharaman tersebut tidak hanya daging babi saja, namun juga semua makanan yang diproses dengan lemak babi, seperti beberapa jenis permen dan coklat, juga beberapa jenis roti yang bagian atasnya disiram dengan lemak babi. Kesimpulannya, semua hal yang menggunakan lemak hewan hendaknya diperhatikan sebelum disantap. Kita tidak memakannya kecuali setelah yakin bahwa makanan itu tidak mengandung lemak atau minyak babi, sehingga kita tidak terjatuh ke dalam kemaksiatan terhadap Allah SWT, dan tidak terkena bahaya-bahaya yang melatarbelakangi Allah SWT mengharamkan daging dan lemak babi.

Dari buku:
Hidangan Islami: Ulasan Komprehensif Berdasarkan Syari`at dan Sains Modern
Penulis: Syeikh Fauzi Muhammad Abu Zaid
Penerjemah: Abdul Hayyie al Kattani, Cet : I/1997
Penerbit: Gema Insani Press
Jl. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388

AGAMA ISLAM

Dalam ajaran ketiga agama samawi (yang besumber dari pewahyuan dari Tuhan)) terdapat suatu kesamaan bahwa kehidupan manusia dimulai oleh Adam dan Hawa, sepasang manusia yang dulunya hidup di sorga, namun karena bujuk rayu Iblis, telah melanggar larangan Allah, akhirnya dihukum, dilemparkan ke dunia, menjalani kehidupan penuh keringat, susah payah, perjuangan, beranak pinak, saling bermusuhan dan membunuh, sampai sekarang.

Juga terdapat suatu kesamaan, bahwa kemudian Allah selalu mengiringi sejarah kehidupan manusia dengan petunjuk-petunjuk-Nya agar manusia punya panduan, mana cara menjalani hidup yang benar menurut Allah, mana cara yang salah. Disini kemudian terjadi ‘persimpangan jalan’. Fakta yang ada sekarang, ketiga agama samawi itu punya konsep yang berbeda tentang tata-cara menjalani hidup, bahkan juga konsep yang berbeda tentang eksistensi Allah. Padahal secara logika, kalau ketiganya sama-sama punya nenek moyang yang satu, maka ajaran yang diturunkan dari nenek moyang tersebut seharusnya sama, terutama ajaran tentang bagaimana gambaran Tuhan. Disini hanya ada 2 kemungkinan, hanya ada SATU ajaran yang benar, yang sama sejak manusia pertama ada, atau ketiga-tiganya salah semua, artinya baik Islam, Kristen maupun Yahudi nyasar semua, tidak sama lagi dengan apa yang dituntun Allah sejak dulu.

Tulisan ini akan mencoba mengungkapkan apa nama ajaran Allah yang dimulai sejak manusia pertama tersebut, dan kemudian dilanjutkan kepada kaum-kaum berikutnya, sampai dalam bentuk yang ada sekarang, tentunya dalam perspektif Al-Qur’an.

Adalah tidak mungkin ketika Allah memberikan sekumpulan petunjuk-Nya kepada manusia, mulai dari manusia pertama dan memberikan ‘judul’ terhadap petunjuk itu dengan sebuah nama, lalu disaat selanjutnya, Allah juga memberikan ajaran lain yang berbeda, lalu juga memberi ‘judul’ yang lain terhadap ajaran tersebut. Al-Qur’an mengistilahkan kata agama dengan ‘diin’ sesuatu yang menggambarkan hubungan antara dua pihak, dimana yang satu mempunyai posisi lebih tinggi dari yang lain. Ada juga istilah lain untuk kata agama ini, yaitu ‘millat’ yang berarti membacakan kepada orang lain. Ar-Raghib al-Asfahani mendefinisikan kata diin adalah menggambarkan keseluruhan suatu agama termasuk rinciannya, sedangkan millat menggambarkan keseluruhan suatu agama tidak dalam rinciannya, Diin bisa diartikan suatu sistem kepercayaan yang sudah terstruktur, milllat artinya suatu ajaran. Menurut Al-Qur’an, dari dulu hanya ada satu nama agama yang benar-benar berasal dari Allah, yaitu Islam.

19. Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam. (Ali Imran) – innadiina = sesungguhnya agama, indallaahi = disisi Allah, al-Islaam = Islam

Dalam ayat ini kata Islam dikemukakan dengan ‘al-Islaam’ berupa kata benda yang mengartikan sebuah nama.

84. Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, ’Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri."

85. Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Ali Imran)
– waman = dan barang siapa, yabtagi = mencari, gaira = selain, al-islaami = Islam, diinan = agama.

Dari kedua ayat tersebut disimpulkan bahwa petunjuk-petunjuk Allah mulai dari manusia pertama, dijuluki oleh Allah dengan ‘al-Islam’. Yang merupakan ‘diin = agama’, dan adanya ketegasan bahwa dari dulunya apa yang diajarkan oleh Allah melalui para nabi dan rasul adalah sama, dalam konteks gambaran eksistensi Allah dan penyembahan kepada-Nya. Pemeluk agama Islam tersebut dinamakan ‘Muslim’

78….(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu..(Al Hajj) – millata = agama, abiikum = bapakmu, Ibraahiima = Ibrahim, huwa = Dia, sammaakumu = menampakkan kamu, al-muslimiina = orang-orang muslim.

Kata ‘al-muslimiina’ juga merupakan kata benda, yang berarti : orang yang memeluk agama Islam’, dan ini sudah dinamai Allah bagai pemeluk Islam sejak dahulunya. Dari uraian ayat-ayat Al-Qur’an diatas, sebenarnya kita mendapat gambaran yang jelas, bahwa dilihat dari sisi ‘penamaan’, yaitu diin atau millah, al-Islam, dan al-Muslimiin, serta pernyataan Allah bahwa yang diakuinya sebagai agama yang Dia turunkan dari dulunya, adalah Islam.

Nabi Ibrahim adalah ‘al-Muslimiin’, anak keturunannya juga, Ismail, Ishak, Ya’kub, Musa, ‘Isa, adalah ‘al-Muslimuun’ pemeluk Islam. Semua nabi dan Rasul itu termasuk dalam keluarga para Rasul, yang ditugaskan Allah untuk menyampaikan ajaran-Nya, tentang eksistensinya, yang sama dari dulunya, dan ajaran Islam tidak membeda-bedakan antara satu nabi dengan nabi yang lain :

136. Katakanlah (hai orang-orang mu’min): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan ’Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya". (Al Baqarah)

Jadi ketika Nabi Ibrahim, dan Nabi Ya’kub berwasiat kepada anak keturunannya :

132. Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub : "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". (Al Baqarah)


Kalimat ‘Allah telah memilih agama ini’, menarik sekali karena wasiat Nabi Ibrahim memakai kata ‘diin’ untuk menyatakan ‘agama’, bukan millat, sedangkan dalam surat al-Hajj 78, Al-Qur’an memakai kata ‘millat’ dalam kalimat ‘agama orangtuamu Ibrahim’. Bisa ditafsirkan bahwa ketika mewasiatkan anak keturunannya, nabi Ibrahim sudah mengetahui bahwa adanya suatu ‘sistem kepercayaan’ yang diridhoi Allah, dan millatnya punya intisari yang sama dengan sistem kepercayaan tersebut. Untuk menghubungkan millat (ajaran) Ibrahim dengan Islam sebagai suatu sistem kepercayaan, maka diakhir ayat tersebut dikatakan : ‘kecuali dalam memeluk agama Islam’. Al-Qur’an memakai kata ‘muslimuuna’ untuk kata yang diartikan ‘agama Islam’, kata muslimuuna adalah kata sifat diartikan = orang yang tunduk/berserah diri.

Lalu muncul pertanyaan, bagaimana mungkin Ibrahim, Ismail, Ishak, Musa, ‘Isa, dikatakan memeluk agama Islam, padahal mereka sudah ada sebelum nabi Muhammad SAW dan ajaran Islam diturunkan. Para nabi dan Rasul tersebut juga tidak melaksanakan shalat 5 waktu, puasa Ramadhan, haji, dll seperti ritual yang dilakukan oleh umat Muhammad SAW, bahkan tidak mengucapkan shahadat ‘Ashadu Allailaaha illa Alllah, wa’ashadu anna Muhammad Rasulullah’, yang merupakan ‘proklamasi’ seseorang memeluk agama Islam.

Yang pasti semua nabi dan Rasul tersebut mengucapkan ‘Tidak ada Tuhan selain Allah’, anda bisa menemukan banyak ayatnya dalam Al-Qur’an, suatu pernyataan bahwa dari dahulunya eksistensi Allah tidaklah berganti, dan penyembahan terhadap-Nya juga tidak berubah. Namun untuk setiap umat, Allah menetapkan SYARI’AT’ yang berbeda-beda, syari’at disini bisa diartikan : tata-cara penyembahan, aturan-aturan menjalani kehidupan, mana yang boleh mana yang tidak, dll :

67. Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari’at tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari’at) ini dan serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus. (Al Hajj)

Itulah makanya untuk kaum Yahudi dan Nasrani, disyari’atkan mengkuduskan hari Sabbath, untuk umat Islam tidak, atau sebaliknya untuk umat Islam disyari’atkan shalat 5 waktu, puasa Ramadhan, dll, untuk umat sebelumnya tidak. Ada juga syari’at umat Muhammad yang terkait dengan syari’at nabi terdahulu :

13. Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan ’Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya). (Asy Syuura)

Maka kata-kata ‘Wa ashadu anna Muhammad Rasulullah’, artinya sipengucap sumpah ini menyatakan dirinya adalah penganut agama Islam dan menjalankan syari’at yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW, sedangkan nabi dan rasul sebelumnya, beserta pengikut-pengikutnya adalah penganut Islam yang menjalankan syari’at sesuai ajaran masing-masing. Namun semuanya dinyatakan sebagai penganut agama Islam, satu-satunya agama yang diakui Allah, dan disebut sebagai Muslim.

Yang jadi pertanyaan sampai sekarang, apakah ketika nabi Musa menyampaikan Taurat, dan nabi “Isa Almasih menyampaikan Injil, menerangkan apa nama agama yang mereka bawa..??, apakah ada pernyataan nabi Musa misalnya yang menyatakan : “Inilah ajaranku, yaitu AGAMA YAHUDI”, atau nabi ‘Isa Almasih menyatakan :”Inilah ajaran AGAMA KRISTEN”. Al-Qur’an sering menyinggung kata : Yahudi dan Nasrani, namun itu merujuk kepada nama suatu kelompok atau kaum, bukan nama agama, lalu apa nama agama yang dibawa oleh nabi Musa dan nabi ‘Isa Almasih tersebut..???